Pasangan Tercerdas Politisi Indonesia, angelina sondakh & adjie massaid
Buku Biru Angelina Sondakh & Adjie Massaid
Jumat, 23 Desember 2011
Dr. Angelina Sondakh: Linda Djalil Sesama ILUNI Sangat Benci Padaku?
← ”22 Hati Perempuan” di Hari Ibu 22 Desember 2011
Tanggal Dua Puluh Tiga Desember…. →
Selamat Hari Ibu, Mama! Benarkah Mama Perlu Pelumnas dan Doyan Makan Apel Malang?
December 22, 2011
Sumber: http://lindadjalil.com/2011/12/selamat-hari-ibu-mama-benarkah-mama-perlu-pelumnas-dan-doyan-makan-apel-malang/#comment-126
Aku tercekat. Berita apa lagi di layar kaca ini? Baby sitter ku asyik menonton televisi sambil tangannya memegang sendok berisi suapan nasi. Telor dadar dan sayur bayam siap diberikan ke dalam mulutku. Aku belum bisa membaca tetapi aku sanggup mendengar, menyimak segala situasi di sekelilingku.
Semua orang ribut hari ini adalah Hari Ibu. Ada bunga di mana-mana, ada puisi di mana-mana. Tiba-tiba seorang ibu mendapat tempat yang sangat khusus hari ini. Bahkan mama, ibuku ini, sejak pagi sudah repot memanggil tukang salon si banci yang pakai anting-anting sebelah itu, untuk menyanggul rambut ibu dan ditancap bunga melati melingkar penuh. Mama akan menghadiri upacara Hari Ibu gede-gedean.
Kembali ke kata-kata si pembawa berita televisi. Nama mama disebut lagi, sebagaimana hari-hari sebelumnya. Kini berita bertambah satu, ada pelumnas yang dibutuhkan mama. Hah? Pelumnas apa’an ya? Bukankah dulu papa sering ke bengkel beli minyak pelumnas untuk motor gedenya, atau untuk mobilnya? Mama, kata si penyiar televisi, selain menyebut apel Malang yang harus dikirim segera, kini ternyata minta juga pelumnas, melalui mulut orang lain.
Duh, tak ada habis-habisnya urusan mama. Rumah mewah, sofa keren, mainanku yang satu kamar penuh, apakah dibeli dari urusan permintaan apel Malang dan minyak Pelumnas? Mama memang cantik, dia sadar penuh hal itu. Mama tertawa-tawa di depan orang banyak, padahal asap rokoknya mengepul tiap hari lewat pipiku. Kalau papa masih hidup, tentu akan dilarang keras ia merokok dekat-dekat anaknya. Mama semakin menjadi perokok berat sejak papa tiada. Gundah gulana ia lampiaskan di batangan rokok yang menyala-nyala sepanjang waktu itu.
Mama tetap ibuku. Baik buruk, ia tetap menjadi sejarah yang terukir pada kalbuku. Mengapa mama begitu bodoh melakukan banyak tindakan yang tak sesuai dengan tatakrama kehidupan yang patut? Papa, tahun lalu dengan bawel melarang ini itu, dan aku tahu persis itu yang membuat mama gerah, kesal, dan amarah meluntap sepanjang hari. Mama tak perduli mempermalukan papa saat tamu sebanyak 30 orang itu sudah datang di rumah untuk memestakan keluarga mama bernatalan yang khusus dibuat oleh papa sebagai tanda toleransi beragama. Ia pergi, ngabur seharian, pulang sudah menjelang maghrib, lalu ngabur ke kamar atas, tanpa keluar lagi sampai tamu bubar. Musik keroncong yang dipanggil papa, juga pohon natal berlampu kerlap kerlip bagai saksi bisu, untuk kejadian tahun lalu yang memalukan itu. Mama seakan memang benci sekali kepada papa pada saat itu. Mempermalukan papa di depan orang banyak, seakan-akan menjadi tujuan utamanya. Dan ia memang tidak perduli. Muka papa memerah sekelilingnya menahan malu di depan para tamu, sanak keluarga, yang juga tahu persis kejadian itu namun kini bungkam seribu bahasa bila ditanya.
Mama mencari-cari paspor yang entah di mana ia simpan. Esoknya, saat papa meleng, mama kabur ke Malaysia bersama rombongan terhormat. Tanpa izin suami, tanpa permisi. Papa terpekur di sofa dekat kolam renang. Sedih! Ia merasa dihina. Apalagi sebagai nakhoda rumah tangga, yang tak dimintai izin atas kepergian istri, alangkah sakit hatinya. Papa menghubungi seseorang, menangis sejadi-jadinya. Namun saat itu ia malah ditegur keras, dianggap kurang bersabar, kurang lembut terhadap istri. Aku masih ingat kata-kata papa saat mengadu, “Aku menasihatinya hampir tiap hari, hati-hati jangan mudah menerima hadiah ini itu serta sumbangan yang penuh misteri, itu tidak baik dan berbahaya. Hidup sebegini sudah seharusnya bersyukur…., tapi istri aku marah, tidak suka diatur-atur. Urusan anak begitu pula, dia sering membedakan kasih sayang terhadap anak-anak..”
Aku menyimak dan menyimak terus. Lalu, berkat disabari oleh orang tempat ia mengadu, papa dianjurkan tetap membeli kado, membeli bunga cantik untuk ulang tahun mama di akhir bulan. Semula papa tidak mau tapi tetap dibujuk dengan sabar, dan berhasil. Ada tiga jambangan bunga indah di atas meja panjang, saat mama Ulang Tahun. Ia bangun tidur, bunga sudah tersedia. Cincin berlian begitu pula…., namun saat pesta berlangsung, mama tetap sengaja bernyanyi keras-keras di depan para tamu diiringi musik, “Pulangkan saja … aku pada ayahku…..!” Duuuh… mama… mama….., aku tidak sampai hati melihat papa terpekur di sudut tangga.
Si pembujuk papa tak kehilangan akal. Dimainkanlah lagu-lagu cinta, dan disodorilah keduanya ke tengah lantai untuk berpelukan, berdansa dengan rapat-rapat. Itulah cara mencairkan suasana dan api yang menyala. Sebelumnya, bahkan di tengah pesta, mama masih bercerita kepada teman-teman dekatnya, bahwa ia sudah tidak tahan lagi menghadapi sang suami yang bawel, penuh aturan, dan cerai adalah jalan terindah baginya. Bahkan akhirnya mama menyiapkan pengacara, berkata kepada berbagai teman dekatnya tentang rencana itu, di balik punggung pemburu berita.
Itu semua adalah cerita tahun lalu. Ya, tahun lalu di bulan Desember sebelum papa terjembab di dekat kaki piano seberang kaca di ruang keluarga. Lalu muncullah berita duka. Papa pergi selamanya…., masyarakat luas berduka, aku apalagi. Mama, kemudian mengobral air mata sepanjang hari, dan pesta sana-sini untuk peluncuran buku, untuk ulang tahun anak-anaknya, dan rajin datang ke studio layar kaca. Kedukaan, kecintaan kepada papa luar dalam, kesetiaannya, semua diumbar dengan bebasnya. Orang tentu bersimpati. Lama-lama bercuriga. Lama-lama menjadi bahan tertawaan.
Mama, apa pun juga, engkau tetap ibuku. Apa pun juga. Urusan Tuhanlah nanti, yang menakar segala baik burukmu, kesucian niatanmu atau pedustaanmu. Selamat Hari Ibu, mama ! Aku masih tetap berharap banyak panutan yang bisa kupetik dari kisahmu. Yang buruk akan kutinggalkan. Yang baik akan menjadi bekalku sampai jauh ke seberang sana usiaku nanti. I Love You, mama…..! Papa…., semoga aku tetap bisa selamanya berbakti kepada mama…, meski di hari-hari terakhir papa, mama tetap melukai hatimu…..
Label:
christine panjaitan,
Dr. Angelina Sondakh,
kompas,
kompasiana.com,
korupsi,
lagu,
linda djalil,
partai demokrat,
presiden sby,
vina panduwinata
Dr. Angelina Sondakh: Kenapa Linda Djalil Sekarang Sangat Dahyat Aura Kebenciannya Padaku?
Tiga Pernyataan Angelina Sondakh yang Mengundang Tanya
December 9, 2011
Sumber: http://lindadjalil.com/2011/12/tiga-pernyataan-angelina-sondakh-yang-mengundang-tanya/
(angelinasondakh.blogs.com)
Hari ini dari layar kaca saya melihat Angelina Sondakh (Angie) masuk ke gedung KPK. Didampingi pria bernama Muji, adik Adjie Masaaid yang berbusana gaya santai ke acara resmi orang yang didampinginya, dengan blus kaos ketat jeans ketat dan kacamata hitam meski di dalam ruangan sekalipun, ia didorong-dorong oleh kerubungan wartawan.
Saya teringat beberapa pernyataan Angie yang mengundang banyak tanya, terhitung dari awal ia dihubungi wartawan. Ketika Angelina Sondakh yang sedang berada di luar negeri diwawancarai jarak jauh oleh wartawan majalah berita mingguan TEMPO tentang keterlibatannya dalam kasus Wisma Atlet, dengan segera ia menyangkal. Pernyataannya yang berupa sumpah pocong dan mengatasnamakan anaknya, dilontarkan secara tegas. Setelah ia sampai di Indonesia kembali, ada pernyataannya yang menyebut “Saya merasa dikhianati”. Selebihnya, ia juga menyatakan “Saya dikorbankan”.
Tiga pernyataan yang sudah dipublikasikan di bermacam-macam media itu mengundang ’selera’ khalayak untuk membahasnya hampir tiap hari di berbagai pertemuan. Saya pun mempunyai pemikiran yang serupa dengan orang-orang yang menyayangkan pernyataan-pernyataan itu. Pertama, sebagai seorang mualaf barangkali ia kurang paham bahwa di dalam agama Islam tak berlaku sumpah pocong. Lagipula, andai memang ia ingin menyangkal, sebagai seorang politikus handal yang sudah dua periode menjangkau posisi wakil rakyat, secara elegan ia bisa berkata kepada sang wartawan, ” Itu adalah fitnah keji, dan tuduhan yang tidak berdasar”. Selesai. Urusan sumpah pocong, saya ingat mbok Abi, tukang cuci setrika saya bermukim di salah satu gang Ibukota yang pulang sore. Bila ia ribut dengan partner kerjanya, yang suatu kali pernah dituduh mengambil jatah kopinya, dengan segera ia berkata, “Berani sumpah pocong, gue kagak ngambil kopi elu!”.
Lalu, Angie berkata ada yang berkhianat terhadapnya. Sadarkah dia, bahwa konteks kalimat itu bisa menjalar ke mana-mana? Bila saya menjadi wartawan yang mewawancarai dia, tentu pernyataan itu akan saya kejar lagi. Maksudnya, siapa yang berkhianat? Bukankah bila ada cetusan kalimat semacam itu relevansinya adalah seseorang melakukan sesuatu berdasarkan kesepakatan bersama, lalu tiba- tiba ada yang ‘nyelonong’ alias ‘mbalelo’ berpaling, berkhianat dan menyebarkan ke mana-mana?
Lalu lagi, bila Angie berkata “Saya dikorbankan” , bisa pula khalayak bertanya-tanya, dikorbankan oleh siapa? Adakah kelompoknya yang ingin mencari selamat kemudian ‘jeburin’ dia sendirian dan yang lain cuci tangan? Artinya, semula sekelompok orang ini akur-akur saja bukan?
Seorang politikus memang harus selalu belajar, belajar dan belajar. Selain wawasan yang dipertambah terus menerus, juga urusan tutur kata. Selip kata dari seorang tokoh biasanya segera dicermati oleh masyarakat luas. Dan dibahas. Tidak cukup politikus hanya pandai buku saja, bacaan banyak, sekolah tinggi bergelar sederet, namun kurang mampu menguasai berbagai pernyataan yang kelak bisa menjebloskannya sendiri. Urusan pencitraan sah-sah saja asal pandai mengemasnya dan…. masuk di akal. Selebihnya, bila ketahuan segala tipu daya, akan menjadi bahan tertawaan massa.
Saya Tidak Suka Tulisan Linda Djalil di Kompasiana.com: Dr. Angelina Sondakh
Beranikah Angelina Sondakh Mengulang Kembali Sumpah Pocongnya??
December 9, 2011
Sumber: http://lindadjalil.com/2011/12/beranikah-angelina-sondakh-mengulang-kembali-sumpah-pocongnya/
(KOMPAS.com/angelinasondakh.blog.com)
Istilah apel Malang dan apel Washington diungkap Rosa di pengadilan. Pembicaraannya dengan anggota dewan terhormat Angelina Sondakh ujung-ujungnya soal uang. Ada pernyataan Angelina Sondakh pula tentang pak ketua besar yang dilontarkan serampangan.Di situ tersebut jatah pak ketua ditagih oleh perempuan yang mendadak top banget setelah suaminya, Adjie Masaid meninggal.
Hanya satu pertanyaan saya, beranikah Angelina Sondakh kini mengulang sumpah pocongnya, dan bersumpah demi anaknya seperti yang dia katakan kepada wartawan TEMPO yang mewawancarainya beberapa waktu lalu? Beranikah ia menyangkal ( lagi-lagi dengan melakukan sungguh-sungguh sumpah pocong) bahwa sama sekali betul-betul tidak ada pembicaraan soal tagih menagih sogok menyogok dengan perumpamaan apel Malang apel Washington?
Menurut saya sudah waktunya Angelina Sondakh memikirkan ’strategi’ selanjutnya. Mungkin ia lupa, selama ini dengan nada menantang tiap saat dikejar wartawan adalah, ia berkata soal sang buron yang harus kembali pulang ke tanah air membuktikan ocehannya. Kini Nazaruddin kembali. Dan siap-siap kita mendengarkan celoteh ngeri ataupun ngawurnya selanjutnya. Rasanya tiada guna Angelina Sondakh muncul berkali-kali di media hiburan infotainmen, acara Tukul, tabloid, untuk sekedar meninggikan citra dengan cara memamerkan nyanyian yang terbaru dengan adik ipar, bercerita suasana bulan puasa tanpa sang suami, soal keguguran, soal menyiapkan kamar bayi, soal orang yang difitnah menjadi pahala bla-bla-bla. Persoalan yang lebih penting sudah ”maha penting” lho di depan mata. Buktikan kepada dunia bahwa kamu bukan pemakan duit rakyat, Angie !
Tentu saya amat sangat berharap tuduhan yang tertuju kepada dirinya tidak benar sama sekali. Namun, apabila ternyata terbukti Angelina Sondakh memang terlibat dan gelindingan buah apel hasil korupsian melilit pada dirinya, saya dan tentunya rakyat Indonesia justru berharap perkara ini diusut sampai ke meja hijau dan dituntaskan seadil-adilnya. Ingat, yang telah tergerus adalah uang kita, semua rakyat. Uang anak petani miskin, jatah si jelata yang tak berpunya, hak anak yatim yang hidup sengsara, uang hasil peluh cucuran keringat tukang ojek di ujung gang, uang rakyat melata yang tak sanggup menyekolahkan anak-anak mereka, bahkan uang para pekerja apapun, uang kita semua, yang sebagian hasil nyatanya terpotong untuk pajak, yang dipakai untuk membayar gaji orang-orang yang telah dipercaya rakyat untuk diharapkan dapat mengurus negeri ini secara baik.
Betul-betul sekali lagi saya berharap segala tuduhan kepada Angelina Sondakh itu hanya omong kosong belaka. Namun yang masih saja berputar-putar di kepala adalah, (lagi- lagi apabila benar), sampai hatikah dia menjejali makanan minuman bagi tubuh Keanu, pemuda ciliknya yang masih murni tanpa dosa itu, dengan rizki mudharat hasil menghisap duit rakyat? Jawaban itu hanya diketahui olehnya, dan…. Tuhan !
Langganan:
Postingan (Atom)
Dr. Hj. Angelina Patricia Sondakh Massaid, SE, MSi
Dr. Hj. Angelina Patricia Sondakh Massaid, SE, MSi