Angelina Sondakh, di FISIP UI jurusan Komunikasi, Program Doktor dgn dosen Prof. Dr. Effendi Gazali

Angelina Sondakh, di FISIP UI jurusan Komunikasi, Program Doktor dgn dosen Prof. Dr. Effendi Gazali
Angelina Sondakh, di FISIP UI jurusan Komunikasi, Program Doktor dgn dosen Prof. Dr. Effendi Gazali

Buku ke 4 Dr. Hj. Angelina Patricia Sondakh Massaid, SE, MSi

Buku ke 4 Dr. Hj. Angelina Patricia Sondakh Massaid, SE, MSi
Buku ke 4 Dr. Hj. Angelina Patricia Sondakh Massaid, SE, MSi

Keanu Massaid dan Angelina Sondakh Massaid

Keanu Massaid dan Angelina Sondakh Massaid
Keanu Massaid dan Angelina Sondakh Massaid

Dr. Hj. Angelina Patricia Sondakh Massaid, SE, MSi

Dr. Hj. Angelina Patricia Sondakh Massaid, SE, MSi
Dr. Hj. Angelina Patricia Sondakh Massaid, SE, MSi

Pasangan Tercerdas Politisi Indonesia, angelina sondakh & adjie massaid

Pasangan Tercerdas Politisi Indonesia, angelina sondakh & adjie massaid
Keduanya Calon Menteri Indonesia dari Partai demokrat, Pasangan Tercerdas Politisi Indonesia, angelina sondakh & adjie massaid

Buku Biru Angelina Sondakh & Adjie Massaid

Buku Biru Angelina Sondakh & Adjie Massaid
Buku Biru Angelina Sondakh & Adjie Massaid

Jumat, 23 Desember 2011

Dr. Angelina Sondakh: Linda Djalil Sesama ILUNI Sangat Benci Padaku?



← ”22 Hati Perempuan” di Hari Ibu 22 Desember 2011
Tanggal Dua Puluh Tiga Desember…. →
Selamat Hari Ibu, Mama! Benarkah Mama Perlu Pelumnas dan Doyan Makan Apel Malang?
December 22, 2011

Sumber: http://lindadjalil.com/2011/12/selamat-hari-ibu-mama-benarkah-mama-perlu-pelumnas-dan-doyan-makan-apel-malang/#comment-126

Aku tercekat. Berita apa lagi di layar kaca ini? Baby sitter ku asyik menonton televisi sambil tangannya memegang sendok berisi suapan nasi. Telor dadar dan sayur bayam siap diberikan ke dalam mulutku. Aku belum bisa membaca tetapi aku sanggup mendengar, menyimak segala situasi di sekelilingku.

Semua orang ribut hari ini adalah Hari Ibu. Ada bunga di mana-mana, ada puisi di mana-mana. Tiba-tiba seorang ibu mendapat tempat yang sangat khusus hari ini. Bahkan mama, ibuku ini, sejak pagi sudah repot memanggil tukang salon si banci yang pakai anting-anting sebelah itu, untuk menyanggul rambut ibu dan ditancap bunga melati melingkar penuh. Mama akan menghadiri upacara Hari Ibu gede-gedean.

Kembali ke kata-kata si pembawa berita televisi. Nama mama disebut lagi, sebagaimana hari-hari sebelumnya. Kini berita bertambah satu, ada pelumnas yang dibutuhkan mama. Hah? Pelumnas apa’an ya? Bukankah dulu papa sering ke bengkel beli minyak pelumnas untuk motor gedenya, atau untuk mobilnya? Mama, kata si penyiar televisi, selain menyebut apel Malang yang harus dikirim segera, kini ternyata minta juga pelumnas, melalui mulut orang lain.

Duh, tak ada habis-habisnya urusan mama. Rumah mewah, sofa keren, mainanku yang satu kamar penuh, apakah dibeli dari urusan permintaan apel Malang dan minyak Pelumnas? Mama memang cantik, dia sadar penuh hal itu. Mama tertawa-tawa di depan orang banyak, padahal asap rokoknya mengepul tiap hari lewat pipiku. Kalau papa masih hidup, tentu akan dilarang keras ia merokok dekat-dekat anaknya. Mama semakin menjadi perokok berat sejak papa tiada. Gundah gulana ia lampiaskan di batangan rokok yang menyala-nyala sepanjang waktu itu.

Mama tetap ibuku. Baik buruk, ia tetap menjadi sejarah yang terukir pada kalbuku. Mengapa mama begitu bodoh melakukan banyak tindakan yang tak sesuai dengan tatakrama kehidupan yang patut? Papa, tahun lalu dengan bawel melarang ini itu, dan aku tahu persis itu yang membuat mama gerah, kesal, dan amarah meluntap sepanjang hari. Mama tak perduli mempermalukan papa saat tamu sebanyak 30 orang itu sudah datang di rumah untuk memestakan keluarga mama bernatalan yang khusus dibuat oleh papa sebagai tanda toleransi beragama. Ia pergi, ngabur seharian, pulang sudah menjelang maghrib, lalu ngabur ke kamar atas, tanpa keluar lagi sampai tamu bubar. Musik keroncong yang dipanggil papa, juga pohon natal berlampu kerlap kerlip bagai saksi bisu, untuk kejadian tahun lalu yang memalukan itu. Mama seakan memang benci sekali kepada papa pada saat itu. Mempermalukan papa di depan orang banyak, seakan-akan menjadi tujuan utamanya. Dan ia memang tidak perduli. Muka papa memerah sekelilingnya menahan malu di depan para tamu, sanak keluarga, yang juga tahu persis kejadian itu namun kini bungkam seribu bahasa bila ditanya.

Mama mencari-cari paspor yang entah di mana ia simpan. Esoknya, saat papa meleng, mama kabur ke Malaysia bersama rombongan terhormat. Tanpa izin suami, tanpa permisi. Papa terpekur di sofa dekat kolam renang. Sedih! Ia merasa dihina. Apalagi sebagai nakhoda rumah tangga, yang tak dimintai izin atas kepergian istri, alangkah sakit hatinya. Papa menghubungi seseorang, menangis sejadi-jadinya. Namun saat itu ia malah ditegur keras, dianggap kurang bersabar, kurang lembut terhadap istri. Aku masih ingat kata-kata papa saat mengadu, “Aku menasihatinya hampir tiap hari, hati-hati jangan mudah menerima hadiah ini itu serta sumbangan yang penuh misteri, itu tidak baik dan berbahaya. Hidup sebegini sudah seharusnya bersyukur…., tapi istri aku marah, tidak suka diatur-atur. Urusan anak begitu pula, dia sering membedakan kasih sayang terhadap anak-anak..”

Aku menyimak dan menyimak terus. Lalu, berkat disabari oleh orang tempat ia mengadu, papa dianjurkan tetap membeli kado, membeli bunga cantik untuk ulang tahun mama di akhir bulan. Semula papa tidak mau tapi tetap dibujuk dengan sabar, dan berhasil. Ada tiga jambangan bunga indah di atas meja panjang, saat mama Ulang Tahun. Ia bangun tidur, bunga sudah tersedia. Cincin berlian begitu pula…., namun saat pesta berlangsung, mama tetap sengaja bernyanyi keras-keras di depan para tamu diiringi musik, “Pulangkan saja … aku pada ayahku…..!” Duuuh… mama… mama….., aku tidak sampai hati melihat papa terpekur di sudut tangga.

Si pembujuk papa tak kehilangan akal. Dimainkanlah lagu-lagu cinta, dan disodorilah keduanya ke tengah lantai untuk berpelukan, berdansa dengan rapat-rapat. Itulah cara mencairkan suasana dan api yang menyala. Sebelumnya, bahkan di tengah pesta, mama masih bercerita kepada teman-teman dekatnya, bahwa ia sudah tidak tahan lagi menghadapi sang suami yang bawel, penuh aturan, dan cerai adalah jalan terindah baginya. Bahkan akhirnya mama menyiapkan pengacara, berkata kepada berbagai teman dekatnya tentang rencana itu, di balik punggung pemburu berita.

Itu semua adalah cerita tahun lalu. Ya, tahun lalu di bulan Desember sebelum papa terjembab di dekat kaki piano seberang kaca di ruang keluarga. Lalu muncullah berita duka. Papa pergi selamanya…., masyarakat luas berduka, aku apalagi. Mama, kemudian mengobral air mata sepanjang hari, dan pesta sana-sini untuk peluncuran buku, untuk ulang tahun anak-anaknya, dan rajin datang ke studio layar kaca. Kedukaan, kecintaan kepada papa luar dalam, kesetiaannya, semua diumbar dengan bebasnya. Orang tentu bersimpati. Lama-lama bercuriga. Lama-lama menjadi bahan tertawaan.

Mama, apa pun juga, engkau tetap ibuku. Apa pun juga. Urusan Tuhanlah nanti, yang menakar segala baik burukmu, kesucian niatanmu atau pedustaanmu. Selamat Hari Ibu, mama ! Aku masih tetap berharap banyak panutan yang bisa kupetik dari kisahmu. Yang buruk akan kutinggalkan. Yang baik akan menjadi bekalku sampai jauh ke seberang sana usiaku nanti. I Love You, mama…..! Papa…., semoga aku tetap bisa selamanya berbakti kepada mama…, meski di hari-hari terakhir papa, mama tetap melukai hatimu…..

Dr. Hj. Angelina Patricia Sondakh Massaid, SE, MSi

Dr. Hj. Angelina Patricia Sondakh Massaid, SE, MSi

Kalau Mas Adjie Nggak Meninggal

Kalau Mas Adjie Nggak Meninggal
Kalau Mas Adjie Nggak Meninggal

Yakin Ditolong Presiden SBY: Angelina Sondakh (2011)

Yakin Ditolong Presiden SBY: Angelina Sondakh (2011)
Yakin Ditolong Presiden SBY: Angelina Sondakh (2011)